Liputan6.com, Jakarta - Program bantuan sosial (bansos) yang dijalankan oleh pemerintah lebih efektif turunkan angka kemiskinan jika dibandingkan dengan Subsidi energi Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal tersebut diungkap dalam Laporan World Bank (Bank Dunia).Â
Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa program jaminan sosial dapat mengurangi dampak buruk pengangguran hingga kesehatan bagi masyarakat kelompok ekonomi bawah.
Baca Juga
"Bantuan sosial tidak hanya lebih efisien untuk mengurangi kemiskinan tetapi juga sangat progresif dalam mengurangi ketimpangan," tulis laporan World Bank dikutip di Jakarta, Selasa (9/5/2023).
Advertisement
Laporan World Bank mengungkapkan, jaminan sosial dapat membantu mengurangi dampak buruk dari permasalahan pengangguran hingga kesehatan. Namun, jaminan sosial saat ini hanya tersedia bagi pekerja formal.
World Bank berharap pemerintah dapat memperluas jangkauan bansos dan perlindungan sosial untuk meningkatkan perlindungan dan produktivitas pekerja. Mengingat, masih banyak pekerja informal yang belum mendapatkan perlindungan dari jaminan sosial pemerintah.
"Saat ini, hanya pekerja formal yang memiliki perlindungan untuk kejadian-kejadian tersebut," ungkap World Bank.
Sebaliknya, program subsidi energi BBM dianggap tidak efektif untuk mengurangi angka kemiskinan. Subsidi BBM dinilai terlalu mahal dan membebani fiskal negara.
"Subsidi energi mahal dan tidak efektif dalam mengarungi kemiskinan dan ketimpangan," ungkap laporan World Bank.
World Bank menilai, implementasi program subsidi BBM sebagian besar tidak tepat sasaran sehingga berdampak kecil terhadap masyarakat ekonomi ke bawah. Bahkan, program tersebut bersifat regresif terhadap lingkungan.
"Subsidi (BBM) tersebut tidak tepat sasaran bagi petani miskin, sebagian besar tidak efektif," ungkap laporan tersebut. World Bank mencatat, program subsidi BBM hanya mengurangi tingkat kemiskinan sebesar 2,4 poin persentase.
Menurut data World Bank, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 16 persen dari total penduduk pada 2022 lalu. Perhitungan penduduk miskin ini dengan asumsi pendapatan dibawah USD 1,90 per hari.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
Jokowi Punya PR Entaskan 5,6 Juta Warga Miskin di 2024
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia yang harus dientaskan masih tinggi, terutama kemiskinan ekstrem.
Menteri Suharso mengungkapkan, outlook jumlah kemiskinan di Indonesia pada tahun 2024 mendatang adalah 7,99 persen, apabila kondisi pelaksanaan program belum dan data belum berubah.
"Disadari bahwa kita masih menghadapi tantangan dalam melaksanakan program program penanggulangan kemiskinan dan penghapusan kemiskinan ekstrem," ujar Suharso dalam acara Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat 2023 yang disiarkan di laman Youtube Bappenas pada Kamis (6/4/2023).
Dalam paparannya Suharso menjelaskan, bahwa gap jumlah penduduk miskin yang harus dientaskan semakin tinggi penanggulangan kemiskinan dan penghapusan kemiskinan ekstrem belum efektif.
"Hal ini disebabkan oleh pengumpulan data yang belum akurat, program program yang masih belum terintegrasi, dan pemberdayaan sosial ekonomi belum yang berkelanjutan," jelasnya.
Disebutkan, untuk mencapai kemiskinan ekstrem di angka nol, perlu mengentaskan maksimum 5,6 juta orang pada tahun 2024.
Beberapa upaya telah dilakukan, dan perlu dilanjutkan setelah dipertajam, khususnya adalah memperbaiki data, secara total pada setiap lapisan, dan integrasi program yang disertai dengan pemberdayaan ekonomi yang masif," pungkas Suharso.
Â
Advertisement
Sektor Kesehatan
Sementara dalam sektor kesehatan, Indonesia mengalami tantangan dengan masih adanya sejumlah kasus baru Neglected Tropical Disease atau NTD, di antaranya adalah kasus Kusta, TB, serta malaria.
Bahkan, Suharso mencatat, Indonesia menempati posisi ketiga di dunia dengan kasus tahunan kusta terbanyak, sebesar 12.095 kasus baru per tahun.
Adapun urutan terbesar kedua di dunia untuk kasus tahunan TB, sebesar 969.000 kasus baru per tahun.
"Prevalensi stunting juga masih memerlukan kerja keras untuk mencapai target RPJMN, perlu turun 3,8 persen per tahun. Kondisi ini kiranya menjadi perhatian sebagai input dalam menentukan arah kebijakan dan strategi di bidang kesehatan pada setiap level pemerintahan dalam meningkatan kualitas pelayanan di tahun 2024," ujar Suharso.